4 Sifat Wajib dan Mustahil Bagi Rasul dan Nabi Beserta Referensi dan Artinya

Sifat Wajib Dan Mustahil Bagi Nabi dan Rasul lengkap dengan referensi dan penjelasanya

4 Sifat Wajib dan Mustahil Bagi Rasul dan Nabi Beserta Referensi dan Artinya

Pada bagian ini, akan diuraikan hal-hal yang ada hubungannya dengan masalah-masalah keNabian. Oleh karena itu, uraian ini akan mengandung hal-hal yang wajib (bagi para Nabi), hal-hal yang mustahil dan yang jaiz bagi mereka.

Sifat Siddiq (Jujur)

Sifat Siddiq (jujur) yaitu, bahwa semua berita yang di sampaikan oleh para Rasul adalah sesuai dengan kenyataan (perintah Allah dan fitrah manusia), meskipun hal itu berasal dari keyakinan mereka sendiri (para Rasul). Seperti apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:
”Semua itu (mengqasar salat atau lupa) tidak tejadi.” 
Sabda beliau ini disampaikan sebagai jawaban atas pertanyaan sahabat Dzul Yadain kepada beliau, ketika beliau selesai salam setelah dua rakaat pada waktu Dhuhur:
”Diqasharkan (diringkas) salat (tadi) atau tuan sedang lupa, wahai Rasulullah?" 
Adapun lawan dari sifat Siddiq adalah sifat kadzib (bohong). Artinya apa yang disampaikan oleh para Rasul tidak sesuai dengan kenyataan baik menyangkut masalah akidah ataupun yang lain (ibadat, syarikat).
Dalilnya, bahwa apabila mereka tidak jujur (tidak berkata benar), sudah pasti mereka pendusta dan tidak mungkin ada perantara (pilihan ketiga) antara perkara yang benar (haq) dan dusta (batil). Apabila mereka berdusta, maka semua berita dari Allah sudah pasti bohong (batal). Adapun yang dimaksudkan dengan berita dari Allah (yang bersifat hukum) adalah mukjizat. Sedangkan berita yang disampaikan melalui mukjizat adalah ciptaan Allah. Karena sesungguhnya Allah Ta'ala selalu membenarkan para Rasul dengan memberinya mukjizat itu. Sejak dari wujudnya dunia (alam) hingga sekarang ini tidak pernah Allah memberikan mukjizat kepada seorang (Rasul) yang memiliki sifat pendusta. Akan tetapi, selalu mempercayakan kepada orang jujur (Siddiq) dan benar. Dan apabila seorang pembohong menganggap bahwa sihir atau yang semisalnya merupakan mukjizat, maka dalam jangka waktu yang tidak lama Allah akan memperlihatkan (membuktikan) kebohongannya. Sebab, sudah jelas bahwa membenarkan orang yang bohong berarti bohong juga.
Dengan demikian, adanya berita bahwa utusan Allah itu pembohong adalah muhal (mustahil). Karena berita yang dibawanya selalu sesuai dengan ilmu Allah dan berita yang sesuai dengan ilmu Allah dapat dipastikan akan kebenarannya. Apabila muhal (mustahil) bohongnya utusan Allah, maka berarti jelaslah kebenarannya. Dan bilamana telah jelas kebenarannya, maka Allah membenarkan kepada para Rasul itupun sah dan benar. Jadi, jelaslah akan kebenaran mereka dan inilah yang dimaksud bahwa mereka (para Rasul) itu memiliki sifat Siddiq.

Sifat Amanah (Dapat Dipercaya)

Wajib bagi para Rasul mempunyai sifat terpercaya, yaitu menjaga anggota lahir dan batin mereka agar tidak menjalani hal-hal yang dilarang (meskipun larangan tersebut berupa hal-hal yang makruh) serta tidak Sesuai dengan sifat keutamaan yang mereka punyai. Mereka terjaga dari Semua perbuatan maksiat, baik yang bersifat lahiriah seperti; perbuatan Zina, minum khamer, bohong dan lain sebagainya. Maupun yang bersifat batiniah seperti; dengki, sombong, riya dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan larangan itu, sekalipun berbentuk gambar. Oleh karena itu, termasuk hal-hal yang terjadi sebelum kenabian dan yang terjadi di masa kecil mereka, di mana mereka tidak akan pernah terjatuh pada hal-hal yang makruh atau khilafatul aula (tidak sesuai dengan sifat keutamaan). Bahkan tidak pula terjatuh pada hal-hal yang mubah.
Apabila sampai terjadi sebagaimana contoh tersebut (seperti melakukan perbuatan makruh, khilaful aula dan mubah) pada diri mereka, maka kejadian itu adalah karena menetapkan suatu hukum syara'. Dan khilaful aula akan berubah menjadi wajib atau sunat bagi mereka.
Semua perbuatan mereka (para Rasul) akan selalu berkisar di antara wajib dan sunat. Bahkan perbuatan para wali (kekasih Allah) yang menjadi pengikut para Rasul, yaitu orang yang telah sampai pada derajat (aklul mustafad, dalam istilah filsafat-ed) semua gerak dan diamnya dijadikan sebagai amal taat kepada Allah sebab adanya niat.
Lawan dari sifat ini (amanat) ialah khianat, sedangkan dalil atas wajibnya bagi para Rasul mempunyai sifat amanat (terpercaya). Karena, apabila mereka menyimpang dari perintah Allah, di mana mereka menjalani perbuatan haram, makruh atau khilaful aula dan bukan untuk ketetapan suatu hukum syara', maka sudah barang tentu kita juga diperintahkan untuk menjalani apa yang di jalani (tuntunan) oleh para Rasul tersebut.
Yang dimaksud dengan perbuatan di sini ialah semua tingkah laku yang mencakup perbuatan lisan dan amalan. Karena, Allah Ta'ala memerintahkan kepada kita agar selalu mengikuti jejak mereka, baik perbuatan, ucapan maupun tingkah laku mereka dengan tanpa adanya rincian (selain perbuatan yang telah jelas menjadi kewatakan (seperti berdiri, duduk dan berjalan). Hal itu tidak diperintah untuk diikuti secara keseluruhan.
Tidak sepantasnyalah jika kita diperintah untuk menjalankan perkara yang haram, makruh atau khilaful aula, karena Allah Ta'ala. sendiri tidak memerintahkan untuk berbuat kejelekan.
Maka jelaslah, bahwa mereka tidak akan menjalani sesuatu kecuali (hanya) ketaatan semata yang adakalanya bersifat wajib atau sunat. Oleh sebab itu semua perbuatan mereka tidak meliputi perkara yang diharamkan, makruh, atau khilaful aula, di mana perbuatan mereka seluruhnya hanya berkisar di antara wajib dan sunat. Dan tidak pula temasuk dalam perbuatan mereka, yaitu perkara yang mubah. Andaikata mereka (para Rasul) mengerjakan perkara yang mubah semata-mata hanya menerangkan perkara jaiz, membuat suatu peraturan adakalanya bersifat wajib atau sunat.
Adapun hujjah (alasan) tersebut merupakan hujjah sam'iah (alasan yang di dengar dari nabi) atau hujjah syar'iah (alasan hukum, syari'at) sekalipun berupa dalil aldi. Karena, dalil yang tidak dapat dielakkan adalah dalil syar'i, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta'ala:
"Katakanlah, jika kamu (benar-benmj mencintai Allah, maka ikutilah aku." (Ali Imran: 31)
Dan tidak sepantasnya jika kita diperintah untuk menjalankan perkara haram, makruh atau khilaful aula. Hal ini juga menggunakan dalil syar'i, yaitu firman Allah Ta'ala ;
”Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengeg'akan) perbuatan yang keji." (Al Imran: 28)
Lain dengan hujjah atas kebenaran (kejujuran) mereka (para Rasul), karena hal ini merupakan hujjah akliah (bersifat akal, logis).
Oleh karena itu, Imam Sanusi berkata: Mustahil bagi mereka (para Rasul) mempunyai sifat dusta menurut akal dan mustahil mereka menjalani maksiat menurut syara'

Sifat Tabligh (Menyampaikan)

Wajib bagi para Rasul mempunyai sifat tabligh, yaitu menyampaikan semua yang mereka dapat dari Allah (sebagai perintah) kepada masyarakat manusia. Kecuali pada hal-hal yang mereka disuruh untuk menyembunyikannya dan yang disuruh memilihnya. Masingmasing dari hal-hal tersebut mereka tidak wajib menyampaikan kepada.
manusia, bahkan mereka wajib menyimpan dan sama sekali tidak wajib menyampaikan kepada masyarakat akan hal-hal yang mana mereka disuruh memilihnya.
Adapun lawan dari sifat ini adalah sifat kitman, yaitu menyembunyikan semua apa yang mereka disuruh untuk menyampaikannya kepada manusia.
Dalilnya, apabila mereka tidak menyampaikan hal-hal tersebut, maka pasti mereka menyembunyikannya, karena tidak ada perantara (pilihan ketiga) antara menyembunyikan dan menyampaikan. Akan tetapi, mereka tidak menyembunyikan. Karena, apabila mereka menyembunyikan sebagian dari perkara yang mereka disuruh untuk menyampaikan kepada manusia, maka pasti kita (umatnya) disuruh untuk menyembunyikan ilmu sebagaimana para Rasul itu menyimpannya. Sebab, Allah sendiri menyuruh kita untuk selalu mengikuti mereka, hal itu terbukti di dalam firman-Nya:

”Dan ikutilah dza (nabi Muhammad) agar kalian mendapat petunjuk” (Al A’raf 158)

Tidak sepantasnya bila kita disuruh untuk menyembunyikan ilmu tersebut, karena sesungguhnya orang yang menutup-nutupi ilmu adalah terlaknat. Hal ini sejalan dengan apa yang telah difirmankan oleh Allah Ta'ala.
”Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang. jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam ”Al Kitab”, maka mereka itu dil'aknat oleh Allah dan dila'knat (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'knati.” (Al Baqarah: 159)

Sifat Fathonah (Cerdas)

Wajib bagi para Rasul mempunyai sifat fathanah (cerdas), yaitu ketangkasan dalam melumpuhkan musuh dan menggagalkan usaha serta pengakuan mereka akan hal-hal yang batil. Juga tangkas dan tanggap di dalam menyampaikan ajaran yang dibawanya dari Allah Ta'ala.
Adapun lawan dari sifat ini adalah ketololan atau kedunguan. Sedangkan dalilnya, apabila mereka mempunyai sifat tolol dan dungu, niscaya mereka tidak mampu menegakkan kalimat Allah untuk mengalahkan (menyadarkan) lawan. Sudah barang tentu hal itu tidak mungkin (muhal). Karena Al-qur'an sendiri telah menunjukkan di beberapa tempat (beberapa surah, ayat) atas kemampuan mereka dalam menegakkan hujjah mengalahkan lawan, seperti dalam firman-Nya:
”Dan ltulah hujjah yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapz kaumnya.”(Al An'am: 83)
Dan seperti dalam firman-Nya yang menceritakan kisah kaum Nabi Nuh:
”Mereka berkata: Hai Nuh sesungguhnya kamu telah berbantahan dengan kami dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami adzab yang kamu ancamkan itu jika kamu termasuk orang-orang yang benar: ” (Huud: 32)
Dan Firmannya yang lain:
"Dan bantahlah mereka dengan carayang lebih baik." (An Nahl: 125)
Yaitu dengan cara yang menyentuh (halus) terhadap perasaan dan akal fikiran mereka (musuh maupun kawan).
Tentulah, orang yang tidak memiliki daya nalar yang kuat, tidak mungkin mampu menegakkan kalimat Allah dan tidak pula mampu membantah mereka dengan cara yang lebih bijaksana.
Ayat-ayat tersebut, sekalipun hanya berlaku untuk sebagian dari para Rasul, namun sesungguhnya merupakan kesempurnaan (kelebihan) yang diberikan oleh Allah untuk mereka. Akan tetapi, sifat fathanah berlaku untuk semua Nabi dan Rasul, meskipun mereka tidak sebagai yang wajib menyampaikan apa-apa yang didapat dari Allah.
Kewajiban bagi para Nabi memiliki sifat fathanah adalah mutlak. Sedangkan untuk para Rasul, sifat fathanah adalah harus sempurna.
Apabila empat sifat tersebut telah jelas bagi mereka, maka mustahil jika mereka mempunyai sifat yang menjadi lawan dari sifat-sifat tersebut yang dikuatkan dengan dalil Syar'i.[1]

[1] Sumber dari Kitab Tijan As-Darari (Ilmu Tauhid) diterjemahkan oleh Achmad Sunarto (Mutiara Ilmu).



Tag : Sifat Wajib Dan Mustahil Bagi Nabi dan Rasul, Sifat Jaiz dan Mustahil Bagi Nabi dan Rosul, Diharuskannya Bagi Setiap Mukallaf Mengetahui Semua Sifat Wajib Dan Mustahil Bagi Nabi dan Rasul SAW, Sifat Siddiq (Jujur), Sifat Amanah (Dapat Dipercaya), Sifat Tabligh (Menyampaikan), Sifat Fathonah (Cerdas)

0 Response to "4 Sifat Wajib dan Mustahil Bagi Rasul dan Nabi Beserta Referensi dan Artinya"

Posting Komentar